The Vital Role of Extension Workers in Sustainable Fisheries Development
The Indonesian government has embraced the concept of the blue economy and aspires to position Indonesia as a global maritime hub. Both endeavors inherently demand a strong foundation in the maritime and fisheries sectors. As these sectors grow in importance, a comprehensive and capable strategy for sustainable fisheries development is essential to solidify Indonesia’s maritime domain as a resilient pillar of progress.
In the pursuit of sustainable fisheries development, the availability and competence of extension workers play a crucial role in realizing the success of priority programs outlined by the government, particularly the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries. Extension workers serve as guides and conduits, conveying information about the fishing world from the central government to local regions. Given the pivotal role of fisheries extension personnel, it’s disheartening that field realities reveal an inadequate number of them to meet the demand.
Shortage of Fisheries Extension Personnel across Various Regions

A notable case of this shortage is evident in Empat Lawang Regency, South Sumatra Province. Andi Ramlan S.Pi., the Coordinator of Fisheries Extension for Empat Lawang Regency, disclosed that his working area has only seven individuals comprising the fisheries extension team within the Regency’s Fisheries Department. However, there are ten sub-districts in Empat Lawang, and in the Pendopo Sub-District, ideally, two to three extension workers should be provided due to the more substantial fishing activities compared to other sub-districts.
“Ideally, there should be one fisheries extension worker per sub-district. We have ten sub-districts. However, it also depends on the fishing area. For instance, in the Pendopo Sub-District, ideally, there should be two or three fisheries extension workers,” Andi Ramlan stated. Considering their critical responsibilities in coordinating fisheries activities at the Fishery Extension Administrative Unit (satminkal) and the Provincial Maritime and Fisheries Office, South Sumatra, it becomes even more pressing. Additionally, fisheries extension workers are tasked with verification, signing off on fishery extension reports and attendance, and executing other duties delegated by the Marine and Fisheries Human Resources Research and Development Agency (BRSDM KP).
Impact of Fisheries Extension Personnel Shortage on Sustainable Fisheries Development
The issue of human resource shortage within the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries must be addressed promptly, especially considering the government’s recent reforms in the maritime and fisheries education system, merging all units into the Ocean Institute of Indonesia (OII). If the number of fisheries extension personnel falls short of the ideal amount, the implementation of sustainable fisheries development could be delayed due to ineffective dissemination of information from the central level to local regions, inevitably hindering the progress of the fisheries industry.
Local Heroes and Aruna Hub: Aruna’s Recognition of the Importance of Fisheries Extension Personnel
Aruna, a fisheries-focused company dedicated to improving the lives of fishermen through sustainable fishing practices, is well aware of the significance of mentors and extension workers in overseeing fishing activities. Through the active role of the marine and fisheries ecosystem of Aruna Hub and the Local Heroes in each region, Aruna has successfully transferred knowledge, information, and technology to coastal communities. Not only fishermen but also non-fishing communities along the coast have experienced positive impacts.
Aruna has educated coastal residents, particularly women, on producing derivative products from leftover catches or aquaculture activities. These products are then aided in marketing to reach potential consumers such as restaurants, hotels, and seafood suppliers across various regions and even internationally. Hence, the reality of numerous coastal areas in Indonesia lacking fisheries extension personnel is concerning. It is hoped that the government collaborates with academia and the private sector to swiftly address this human resource shortage issue.
BCL Sebagai Wujud Nyata Sustainable Fisheries Development di Indonesia
Bulan Oktober di tahun 2022 ini akan menjadi bulan yang sibuk bagi siapapun yang memiliki keterkaitan dengan dunia perikanan dan kelautan. Karena bulan ini dicanangkan sebagai Gerakan Nasional Bulan Cinta Laut (Gernas BCL). Gernas BCL ini dicanangkan untuk menindaklanjuti amanah yang tertuang Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Keberhasilan Gernas BCL ini juga akan menjadi indikator penting kemajuan sustainable fisheries development di Indonesia.
Fokus utama dalam Gernas BCL yang diselenggarakan mulai dari tanggal 1 sampai dengan 31 Oktober 2022 ini adalah mengusahakan aksi nyata untuk mengurangi jumlah sampah plastik di pesisir dan laut. Target yang ingin dicapai pemerintah adalah pengurangan sampah plastik di laut pada tahun 2025 bisa mencapai 70%. Tentu saja ini bukanlah target yang main-main dan akan sangat berdampak terhadap majunya fisheries industry di negara kita.
Gerakan Sustainable Fisheries Development yang Paling Masif
Dalam siaran pers yang dibagikan resmi pada laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebanyak 1.721 orang yang berprofesi sebagai nelayan di 14 daerah akan terlibat aktif dalam Gernas BCL ini. Ribuan nelayan yang akan menjadi agent of change ini tersebar mulai dari ujung timur hingga ke ujung barat Indonesia yakni Banda Aceh, Medan, Padang, Tanjung Pinang, Serang, Cilacap, Cirebon, Bali, Kubu Raya, Balikpapan, Manado, Kendari, Sorong, dan Merauke.
Pemerintah bahkan sudah menyiapkan sistem kompensasi, agar para nelayan yang sudah terdaftar menjadi anggota anggota Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA) ini tidak terganggu mata pencahariannya selama aktif mengumpulkan sampah di lautan. Program tersebut sejalan dengan semangat yang selama ini dimiliki oleh Aruna, agar usaha untuk menjaga kelestarian lingkungan jangan sampai memberikan dampak buruk bagi nelayan dan masyarakat pesisir.
Pilot Project Telah Berjalan Sejak Awal Tahun
Ternyata sebelum diresmikan menjadi gerakan nasional, KKP telah lebih dulu menjalankan program kompensasi sampah yang dikumpulkan nelayan sejak awal tahun 2022. Jadi bisa dikatakan bahwa sebenarnya pilot project gerakan ini sudah lebih dulu berjalan sebelum bulan Oktober. Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo bahkan telah mengungkapkan bahwa hingga kini telah terdata sebanyak 23,7 ton sampah yang telah terkumpul.
Tidak heran jika Gernas BCL ini dapat dikatakan sebagai wujud nyata pemerintah dalam menegakkan sustainable fisheries development. Karena pemerintah mencanangkan gerakan yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan sampah demi menuju ekonomi biru. Selain menjadikan para nelayan sebagai ujung tombak dan mengenalkan mereka pada penerapan ekonomi sirkular, masyarakat luas pun akan diedukasi agar mengupayakan pengelolaan sampah dari hulu. Sehingga bisa mencegah dan mengendalikan kebocoran sampah yang sampai ke laut.
Keberhasilan Gernas BCL ini akan sangat bergantung pada peran aktif seluruh stakeholder dan masyarakat luas, termasuk para pelaku bisnis supplier seafood dan perusahaan perikanan di tanah air. Tentu saja Aruna kan terus mendukung kebijakan pemerintah dengan menggerakkan komunitas yang tergabung dalam Aruna Hub. Salah satunya adalah penerapan ekonomi sirkular, dimana masyarakat pesisir diberikan bekal untuk mengolah sisa tangkapan mereka dari laut menjadi produk yang tetap memiliki nilai ekonomis.
Dengan semakin banyak pihak yang berperan aktif dalam mengatasi masalah sampah baik di darat dan di laut, target pemerintah untuk mengurangi sampah laut sebanyak 70% bukanlah menjadi hal yang mustahil untuk dicapai.