Transparency of the Ministry of Marine Affairs and Fisheries in Implementing the Sustainable Fisheries Concept

Sustainable fisheries management consists of three interconnected elements: ecological, economic, and social. This was revealed by Sugeng Hari Wisudo, an expert in the utilization of fishery resources, marine technology, and fishery system analysis. Therefore, the government must create regulations that also consider the interests of business actors, conservation, and society. “This is where transparency is important. I see that the Ministry of Marine Affairs and Fisheries (KKP) has already opened up and fishermen have engaged in dialogue, and this is continually done, so that they can eventually reach an optimum point for everyone,” said Sugeng.

Recently, the government opened a discussion forum with fishermen to discuss changes to the Non-Tax State Revenue (PNBP) mechanism that applies to the Ministry of Marine Affairs and Fisheries, from pre-production to post-production. This change aims to optimize the implementation of sustainability in the fisheries industry, so that fish availability in the sea can be maintained.

Bureaucratic changes from pre-production to post-production are in line with the Blue Economy and provide easy access.

In a discussion entitled “Post-Production PNBP Regulation” at the KKP Media Center held on Thursday, January 19, 2023, and attended by fishermen, Director General of Capture Fisheries at KKP, Ukon Ahmad Furqon, provided a more detailed explanation of the changes to this collection mechanism. This post-production calculation mechanism change also eliminates the cost of managing the Fishing Permit Letter (SIPI), so that PNBP is only based on actual catch amounts.

With strengthened reporting infrastructure that uses appropriate technology, fishermen and business actors can independently fill in catch data through the e-PIT application. The data that is inputted independently will later be verified by the government and if there is a deficiency in payment after verification, then business actors are required to pay the remaining balance. This collection calculation mechanism change has also been regulated in Government Regulation Number 85 of 2021 concerning Types and Tariffs on Types of Non-Tax State Revenue that apply to the Ministry of Marine Affairs and Fisheries.

Prioritizing Discussions in Determining Policies for the Synergistic Implementation of the Sustainable Fisheries Concept

In determining policies and implementing the sustainable fisheries concept, KKP certainly still involves and listens to the input given by fishermen and business actors. One of the examples is when fishermen requested a reduction in the PNBP index rate for vessels over 60 gross tonnage (GT). Ukon stated that he had prepared a way out by adjusting the Fish Reference Price (HAI), which is one of the variables in calculating the post-production mechanism for PNBP collection.

Kajidin, the Chairman of the United Fishermen’s Front of Indramayu, also revealed that they did not object to the mechanism changes, but requested a review of the index rate for vessels above 60 GT and the government could accelerate the transition period. “Ships over 60 GT received feedback from fishermen because the tariff index is considered quite high. This is what we absorb. The Minister has also recently directly received feedback from fishermen. The process is currently ongoing, and we have discussed it with colleagues in the Ministry of Finance and they support it. We continue to discuss how this can be resolved quickly as expected,” said Ukon.

Aruna, which consistently emphasizes synergy with the community through Aruna Hub, highly appreciates the openness of the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries (KKP) to listen to the aspirations of fishermen as part of the fisheries ecosystem in implementing sustainable fisheries concept. This is done to apply a sustainable fisheries system while still considering the interests of every group involved, including coastal communities and even seafood supplier stakeholders. Therefore, every policy is not only made for the benefit of the government, businesses, conservation, or small communities but can also foster synergy so that it can run well and simultaneously.

“A Lobster Farm”, 1 Stop Sustainable Fisheries Concept dari Aruna

Impian Aruna untuk memajukan industri perikanan domestik di Indonesia dengan mengedepankan sustainability, kini telah memasuki babak baru. Tepat pada tanggal 6 Oktober 2022, Aruna telah meluncurkan Kampung Wisata dan Budidaya Lobster “A Lobster Farm” di Pantai Amed, Provinsi Bali. Sebuah “1 Stop Sustainable Fisheries Concept” yang digagas oleh perusahaan perikanan Aruna Indonesia dengan melibatkan peran pemerintah serta ekosistem nelayan dan masyarakat di pesisir Pantai Amed, beserta para pelaku pariwisata.

Kampung Wisata dan Budidaya Lobster ini wujud inovasi Aruna untuk berkontribusi bersama pemerintah dalam mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia, khususnya untuk sektor pariwisata. Tidak heran jika Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI) turut hadir pada saat diselenggarakannya seremonial peresmian” A Lobster Farm” yang dilakukan secara hybrid di Nusa Dua, Bali.

Dalam peluncuran ini juga hadir Hengky Manurung (Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenparekraf RI), I Made Sudarsana (Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali), I Wayan Astika (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem). Sedangkan representative dari pihak Aruna yang hadir adalah Dian Lestari selaku Co-Founder dan Director “A Lobster Farm”, serta Co-Founder dan Chief Sustainability Officer Aruna, Utari Octavianty.

“Bali merupakan garda terdepan untuk transformasi pariwisata di Indonesia, bukan hanya dari sisi keindahannya, namun juga dari potensi laut yang dimilikinya.”, ujar Sandiaga Uno pada saat peresmian Kampung Wisata dan Budidaya Lobster “A Lobster Farm” berlangsung.

A Lobster Farm, Destinasi Wisata Baru yang Mengusung Sustainable Fisheries Concept

Pariwisata di Bali bisa mendunia berkat experience value yang kuat melekat. Berangkat dari hal tersebut, A Lobster Farm adalah 1 Stop Sustainable Fisheries Concept di mana edukasi dan pengalaman menarik bisa sekaligus didapatkan oleh para wisatawan yang berkunjung.

Bahkan, Aruna juga melakukan inovasi dengan sekaligus menjadikan A Lobster Farm sebagai Aruna Hub sekaligus Visitor Center. Kegiatan pariwisata, penelitian dan edukasi di bidang perikanan dapat sekaligus dilakukan di 1 lokasi, sambil melibatkan masyarakat yang telah bergabung menjadi mitra Aruna.

Lebih lanjut, Kemenparekraf juga mengungkapkan bahwa inovasi ini dapat mendorong terwujudnya pariwisata yang inklusif dan sustainable. “Saya harap, niat baik Aruna ini dapat semakin mensejahterakan nelayan dan komunitas pesisir, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan, sehingga percepatan pemulihan ekonomi Bali dapat segera terjadi. Jaya terus untuk Aruna!”, demikian diungkapkan oleh Sandiaga Uno.

360° Experience Bersama Lobster Budidaya A Lobster Farm

Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan para wisatawan yang berkunjung selama berada di A Lobster Farm. Mereka bisa merasakan pengalaman tak terlupakan dengan diving sambil berinteraksi dan memberi makan budidaya lobster. Bahan makanan lobster tersebut dibuat langsung oleh ibu-ibu warga sekitar Pantai Amed secara organik, dengan memanfaatkan hasil tangkapan nelayan yang tidak terserap di pasar ikan.

Kemudian pengunjung dapat langsung mencicipi aneka sajian seafood khas Indonesia yang berkualitas dunia dengan konsep sea to table dari hotel, restoran dan kafe setempat. Yang dimaksud dengan sea to table ini adalah bahan utama bukan didapatkan dari pembelian melalui supplier seafood, melainkan hasil tangkapan langsung para nelayan.

Sebagai perusahaan perikanan yang bergerak di bidang supply chain aggregator dan fokus terhadap keberlangsungan ekosistem kelautan, Aruna akan terus mengembangkan fungsi dari A Lobster Farm sebagai model sustainable tourism untuk pemulihan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berkelanjutan. Sekaligus terus menangkap peluang inovasi bisnis yang selalu dapat mendatangkan dampak positif bagi masyarakat pesisir.

Bagaimana Sustainable Fisheries Concept Menjaga Kestabilan Iklim?

Isu pemanasan global (global warming) sebenarnya bukanlah hal baru. Para ilmuwan iklim dari seluruh dunia sudah meneliti dan menemukan indikasi kehadiran pemanasan global sejak tahun 1940-an. Efek rumah kaca yang mengunci karbon dioksida (CO2) pada atmosfer ditemukan membuat suhu bumi semakin hari semakin panas, bahkan hingga saat ini. Lantas apa kaitannya sustainable fisheries concept (konsep perikanan berkelanjutan)  dengan kestabilan iklim bumi?

Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, gas CO2 yang bersumber utama dari pembakaran hutan serta kegiatan penggunaan bahan bakar pada mesin industri dan kendaraan, terperangkap di atmosfer dan menjadi sumber utama munculnya global warming. Mengapa demikian? Karena lapisan CO2 yang berlebih ini membuat suhu bumi terus meningkat. Seiring waktu, kandungan CO2 justru ada di level yang mengkhawatirkan dan dampak buruknya semakin terasa. Tidak heran jika sekarang ini para ilmuwan terus berlomba mencari cara yang paling ampuh untuk membuat bumi “lebih adem”.

Sustainable Fisheries Concept Sebagai Solusi?

Dari sekian banyaknya saran yang diberikan oleh para ilmuwan untuk meredam efek pemanasan global yang semakin ganas, ada yang telah membuahkan hasil namun ada juga yang belum menunjukkan hasil yang terukur dan signifikan. Kesadaran seluruh masyarakat dunia untuk ikut terlibat memerangi pemanasan global memang sangat diperlukan, karena permasalahan ini kompleks dan tidak dapat teratasi jika hanya pihak tertentu saja yang bekerja keras.

Lantas apa yang bisa dikontribusikan sektor perikanan dunia terhadap isu ini? Sustainable fisheries concept-lah jawabannya. Karena sebenarnya keseimbangan laut sangat berpengaruh terhadap suhu bumi, perubahan iklim maupun kelestarian lingkungan. Belum lagi mengingat fakta bahwa setiap tahunnya,85% oksigen yang menyelimuti bumi dihasilkan oleh fitoplankton. Jadi penerapan sustainable fisheries concept yang benar, serta merta akan turut mempengaruhi keseimbangan ekosistem laut dan berkontribusi untuk memperbaiki kerusakan iklim.

Mengingat fakta bahwa fitoplankton memproduksi banyak oksigen, bagaimana kalau kita perbanyak saja jumlah fitoplankton di seluruh lautan agar bisa menekan tingkat CO2?

Tentu saja hal tersebut sangat tidak disarankan untuk dilakukan. Kita harus mengingat bahwa ada pepatah lama yang mengatakan segala hal yang berlebihan itu tidak baik. Apalagi para ilmuwan pun sudah menemukan fakta bahwa keberadaan fitoplankton yang terlalu banyak justru akan merusak seluruh ekosistem kehidupan, bukan hanya ekosistem laut.

Selektif Implementasikan metode yang diterapkan dalam fisheries industry

Yang dimaksud dengan menerapkan konsep perikanan berkelanjutan disini adalah, masyarakat yang tinggal dan bermata pencaharian dekat dengan lingkungan perairan laut harus menerapkan metode yang tetap menjaga kelestarian lingkungan. Bukan hanya dengan peralatan yang ramah lingkungan, tetapi juga menjaga tetap seimbangnya biota laut. Sehingga dengan demikian, jika ekosistem laut terjaga dengan baik maka perubahan cuaca dan iklim yang ekstrim dapat terhindarkan.

Startup perikanan yang ada di Indonesia pun harus turut mengambil peran untuk membukakan mata masyarakat akan pentingnya keseimbangan laut bagi iklim. Demikian pula startup Aruna melalui Aruna Hub, terus aktif membina masyarakat agar lebih sadar lingkungan sambil terus meningkatkan produktivitas mereka. Bahkan kalau perlu, hingga ke level supplier seafood pun harus turut menerapkan konsep keberlanjutan.

Terus menggaungkan sustainable agar terus diimplementasikan di berbagai aspek demi iklim bumi yang baik ini, semata bukan hanya untuk kebaikan kehidupan di saat ini. Melainkan juga untuk kebaikan seluruh kehidupan di masa depan.